Asing rasanya pertama kali mendengar gelar MIRKH, gelar Master of Islamic Revealed of Knowledge and Heritage demikian kepanjangannya di Indonesia biasanya diartikan sebagai jurusan Pemikiran Islam. Terdengar asing karena di Indonesia pun belum pernah mendengar dan memang tidak ada gelar akademik seperti itu. Gelar diatas adalah salah satu tidak akademik jenjang Master (S2) di salah satu perguruan tinggi Islam, International Islamic University (IIU) di Malaysia. Salah satu guru Gontor yang saat itu menurut saya pertama kali memiliki gelar akademik tersebut adalah ustadz Nur Hadi Ihsan yang sebelumnya menyelesaikan studi S1nya di Institut Pendidikan Darussalam (IPD) Gontor.
“Hanya orang gila saja yang mau meminjamkan bukunya”, ungkapan tersebut yang saya dapatkan saat pertama kali mengenal sosok Dr. Nur Hadi Ihsan, M.A saat ingin meminjam buku perkuliahan materi Tasawwuf Madkhal Ila At-Tasawwuf Al-Islami Karangan Dr. Abu al Wafa Al-Ghanimi Al-Taftazani. Pengalaman yang membuatku jera untuk meminjam buku pada siapapun setelahnya. “Jangan pernah berhitung dengan ilmu, karena ilmu itu mahal jika memang sebuah buku itu dapat kita miliki dengan cara membelinya maka lakukanlah dan kamu tidak akan pernah rugi”, tutur beliau saat itu. Maklum mahasiswa guru saat itu memang biasanya lebih senang fotokopi bahan kuliah termasuk jika buku tersebut memang susah untuk dicari di perpustakaan atau memang hanya untuk menghemat pengeluaran selama kuliah.
Mahasiswa guru di Gontor boleh dibilang istimewa karena mereka bukan sekedar mahasiswa yang memiliki tanggungjawab belajar sebagai mahasiswa saja akan tetapi mahasiswa yang juga menjadi guru, wali kelas, pembimbing konsulat untuk santri-santri daerah asal, bertanggungjawab dengan instansinya baik di dalam atau luar Pondok yang sangat menyita waktu mereka selama sehari penuh. Oleh sebab itu waktu perkuliahan untuk mahasiswa gurupun hanya terbagi 2, pada saat sore hari setelah ashar pukul 15.30 hingga pukul 17.00 dan dilanjutkan sesi berikutnya pada pukul 18.30 sampai 20.30 Wib menjelang belajar bersama dengan anak didik di kelas masing-masing. Jadi hampir tidak ada waktu tersisa selama sehari penuh dan itu habis untuk kepentingan pribadi perkuliahan, instansi dan juga untuk santri.
Setelah menyelesaikan studi S2nya di IIUM Malaysia beliau kembali pulang ke Gontor dan menempati rumah Anshar sebelah selatan Masjid Jami’ Gontor yang dulu lebih familiar dengan istilah perumahan baketram. Sayapun belum terlalu mengenal sosok beliau saat itu hanya sebatas kenal karena beliau dari Jombang, itu saja. Selain di Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI), Aktifitas beliau juga sangat padat di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, perguruan tinggi milik Gontor yang juga menjadi jenjang lanjutan pendidikan setelah KMI. Tak lama kemudian beliaupun pindah ke perumahan ISID Siman dan menduduki kursi Dekan Fakultas Ushuluddin menggantikan Dr. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A.
Hal paling berkesan bersama beliau pastinya pada saat masa-masa kuliah bersama beliau di Ushuluddin, tahun 2000 boleh dibilang masa keemasan Fakultas Ushuluddin (FU), karena mahasiswa FU saat itu tergolong banyak dan hampir menyamai Fakultas Tarbiyah meskipun termasuk Fakultas yang pertama kali berdiri dalam sejarah Perguruan Tinggi Gontor, Institut Pendidikan Darussalam (IPD) kala itu.
Semester 3 awal pertemuan kuliah intensif bersama beliau dengan Materi Metodologi Penelitian Agama karena memang saat itu saya mengambil Jurusan Perbandingan Agama (PA). Saat itu mahasiswa diarahkan untuk membuat sebuah kerangka penelitian yang sesuai dengan jurusan yang ditempuh, dan saat itu saya tertarik dengan sebuah artikel pembahasan Tarekat yang unik dan kemunculannya ada di Indonesia, karena mayoritas kelompok Tarekat berasal luar Indonesia. Tarekat Shiddiqiyyah demikian disebut di Indonesia, yang berlokasi di kecamatan Ploso Jombang Jawa Timur.
Kerangka penelitian saat itu saya ajukan ke beliau dengan mengungkapkan beberapa alasan ketertarikan saya terhadap tarekat tersebut selain unik kebetulan keberadaan Tarekat tersebut memang berlokasi sangat dekat dengan rumah saya dan justru baru tahu Shiddiqiyyah yang biasa dikenal oleh warga sekitar hanya merupakan pondok sebagaimana biasanya ternyata Shiddiqiyyah merupakan Tarekat yang terkenal di Indonesia. Setelah perbincangan yg cukup panjang dengan beliau akhirnya kerangka penelitian tersebut beliau setujui dan diakhir perbincangan beliau mendorong agar saya melanjutkan kerangka tersebut pada penulisan skripsi nantinya.
Tak ayal triger yang dimunculkan beliau ini juga memicu saya untuk benar-benar melanjutkan penelitian skripsi dengan tema itu apalagi judul tersebut sudah disetujui oleh dekan FU sendiri. 1 tahun kemudian tidak disangka saya dipindah dari Gontor ke ISID Siman untuk menjadi staf mahasiswa disana dan itu semakin mendekatkan jarak saya dengan beliau yang memang sama-sama tinggal di Kampus ISID Siman, akan semakin memudahkan konsultasi calon judul skripsi pikirku.
Semester 5 menjadi puncak mengerucutnya judul skripsi yang memang bakal akan saya mulai apalagi setelah beberapa konsultasi “tak resmi” beliau memberikan beberapa referensi buku tentang Tarekat Shiddiqiyyah yang menjadi Modal Awal rancangan proposal skripsi. Pada semester berikutnya setelah proposal tersebut di seminarkan dan juga dihadiri oleh beliau ternyata beliau sendiri yang bersedia menjadi pembimbing skripsi saya, bahagia rasanya dapat dimentori langsung oleh beliau dalam penulisan skripsi.
Setelah berjalannya waktu akhirnya skripsi selesai ditulis juga disidangkan dan alhamdulillah dengan hasil yang memuaskan. 2 tahun kemudian (2006) Dr. Nur Hadi Ihsan ternyata melanjutkan studi Doktoral di Universiti Malaya Malaysia dan dalam penelitian Disertasi beliau juga ingin mengangkat tema tentang Tarekat Shiddiqiyah, awalnya saya meragukan kabar yang saya dengar ternyata memang benar beliau ingin mengembangkan lagi penelitian tentang Shiddiqiyah. Penelitian yang memang fokus di Indonesia tersebut terbagi di beberapa wilayah yang ada di Indonesia terutama pada kantong-kantong daerah yang Banyak pengikut tarekat tersebut diantaranya di daerah Warujayeng Nganjuk. Hampir 1 minggu saya berada di daerah tersebut bersama ustadz Saifullah mengadakan penelitian dan juga wawancara dengan beberapa tokoh tarekat tersebut. Di daerah Jombang sendiri mengikuti beberapa kegiatan keagamaan yang di selenggarakan, dialog dengan beberapa Khalifah dan juga berkunjung di tempat Khalwah (menyendiri). Hingga pada akhirnya Disertasi tersebut dapat disidangkan pada tahun 2010 di Malaysia.
Berbicara soal akademik, beliau memang termasuk panutan dan juga mentor yang jenius selama yg saya pernah rasakan hingga saat ini. Pola pikir dan konsep keilmuannya yang saya rasakan memang kuat dan dapat mengurai sesuatu dengan rinci dan mudah dipahami pada akhirnya. Mentor yang selalu menginspirasi mahasiswanya dengan ide-ide akademik yg cemerlang.
Saat ini beliau dipercaya oleh Prof. Dr. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A., memegang tampuk kepemimpinan di UNIDA Putri yang memang cocok dengan kualitas akademik yang selama ini dimilikinya. Dengan pengalaman beliau di ISID Siman menggerakkan roda kegiatan mahasiswa, mulai bangun tidur, kegiatan harian sebelum jam kuliah termasuk kajian atau diskusi kelompok mahasiswa, pengajian masyarakat, seminar-seminar hingga Unit Kerja Mahasiswa (UKM) bersama mahasiswa. Terobosan-terobosan brilian selama di ISID Siman dapat diadopsi pula di putr, rasanya tak perlu lagi diragukan, semoga UNIDA Putri akan lebih maju lagi dan berkembang dibawah kepemimpinan beliau.