Kiai Sulaiman Jamal merupakan salah satu santri Tegalsari asal Cirebon yang kemudian diambil menantu oleh Kiai Cholifah putra ke 6 Kiai Ageng Muhammad Besari Tegalsari. Beliau dijodohkan dengan Putri ke 4 Kyai Chalifah bernama Jemitun (Jamilatun) karena dianggap santri yang tekun, memiliki wawasan keilmuan yang luas dan rajin beribadah selama nyantri di Tegalsari. Setelah menikah Kiai Sulaiman Jamal diperintahkan oleh mertuanya untuk babat alat kearah Timur desa Tegalsari hanya menunjuk dengan tangan beliau. Dibekali dengan 40 santri Tegalsari dan beberapa bekal makanan secukupnya beliau kemudian memulai babatnya menuju arah timur desa Tegalsari. Bukan hal mudah mengawali babat desa, banyak sekali halangan dan rintangan yang beliau dapatkan karena daerah Tegalsari menuju ke timur masih berupa alas (hutan) yang banyak hewan buas dan juga para begal yang siap merampok siapapun yang melewati alas tersebut.
Konon dalam perjalanan babat alas kiai Sulaiman Jamal sempat terhenti sebelum sampai desa Gontor karena beban yang berat, kemudian beliau menghentikan babatnya sementara waktu kemudian kembali ke Tegalsari lalu beliau juga sempat babat alas ke arah barat Tegalsari akan tetapi tidak lama. Kemudian beliau melanjutkan kembali babatnya ke arah timur hingga sampailah beliau di desa Gontor. Kondisi alas yang belum seluruhnya terbabat perlahan tapi pasti beliau terus bekerja bersama dengan 40 santri yang dibekalkan oleh Kiai Cholifah. Beberapa gubuk sederhana dibangun untuk menginap beliau bersama istrinya dan juga 40 santrinya, beliau juga tetap menunaikan kewajiban shalat 5 waktu dan juga melaksanakan shalat Jum’at dengan santrinya.
Sementara itu Nyai Jemitun (istri kyai Sulaiman Jamal) juga tidak tinggal diam melihat suaminya bekerja keras dalam membangun desa dan juga menyiapkan pondok rintisannya (Gontor Lama) bersama santri-santrinya. Beliau (istri) juga menyiapkan makan dan minum santri-santri yang bekerja setiap hari sampai berdiri beberapa rumah bambu sederhana untuk tempat tinggal beliau. Pengorbanan Nyai Jemitun tidak sampai disitu saja, harta yang selama ini dimiliki juga dipakai untuk menopang pembangunan beberapa gubuk sederhana untuk rintisan pesantren yang lambat laun bertambah jumlah santrinya. Nyai Jemitun adalah putri seorang Kiai yang secara materi sangat tercukupi bahkan jika dihitung hasil panen sawah keluarga beliau bisa berderet dari ujung ke ujung desa Tegalsari orang yang mengangkut hasil panen sawahnya, akan tetapi beliau hidup begitu sederhana dan juga mensupport suaminya demi pesantren rintisan yang dicita-citakannya.
Sebagai seorang istri beliau juga sadar harus selalu mendampingi sang suami baik suka dan duka, mendukung baik material maupun non material (semangat) demi terwujudnya sebuah cita-cita luhur dakwah menyebarkan ajaran Islam, mengajarkan ilmu agama meskipun ditempat terpencil serta mengabdikan diri kepada masyarakat nantinya. Sehingga tidak salah jika KH. Imam Zarkasyi sebagai generasi penerus rintisan pesantren ini pernah mengatakan, “Andaikata muridku tinggal satu, akan tetap kuajar, yang satu ini sama dengan seribu, kalaupun yang satu ini pun tidak ada, aku akan mengajar dunia dengan pena.” Falsafah tersebut bukan tiba-tiba saja muncul tanpa dasar, akan tetapi falsafat tersebut ada karena pendidikan nilai-nilai luhur para nenek moyang beliau yang telah makan asam garam kehidupan pesantren yang kemudian hari turun pula dalam ajaran keluarga maupun dalam pesantren. Pribadi seorang pendidik sejati memang tidak akan pernah berhitung untung dan rugi, tidak akan berhitung seberapa banyak jumlah santri, hal penting yang perlu dipegang oleh setiap pendidik adalah mendakwahkan agama, ilmu dan mengamalkan ilmu yang didapat kepada ummat dimanapun tempat kaki berpijak.
Begitu pula mengenai sosok pendamping seorang guru KH. Ahmad Sahal juga pernah menegaskan, “Calon istri yang akan kesini itu ngrewangi opo ngrusuhi? (Calon istri yang akan kesini, membantu atau membuat rusuh)”, betapa beliau sangat menegaskan nilai-nilai perjuangan yang dihadapi kedepan dengan memperkokoh fondasi keluarga pondok, menjaga dari kemungkinan terburuk sehingga pondok tidak mudah goyang jika suatu saat diterpa angin kencang.
Nyai Jemitun sadar perjuangan suaminya merintis sebuah pesantren tidaklah mudah apalagi mengawalinya dari nol, tahapan demi tahapan perjuangan mendukung suaminya terus dijalankan meskipun seluruh harta yang dimilikinya harus habis seluruhnya, dalam benak beliau sangat ingin pengorbanan amalnya (materi/ non materi) tercatat sebagai amal jariyah yang akan membawa beliau kelak ke Surga, oleh karena itu beliau tetap terus bersabar, telaten dan juga berdoa agar kelak pesantren rintisan tersebut benar-benar dapat bermanfaat bagi masyarakat Gontor dan juga ummat.